Selasa, 28 Juni 2011

kenangan bu Linda

undangan desiminasi

kPEMERINTAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
DINAS PENDIDIKAN MENENGAH DAN TINGGI
SMK NEGERI 17 JAKARTA
KELOMPOK BISNIS DAN MANAJEMEN
Jalan G. Slipi Palmerah Jakarta Barat 11410 Telp (021) 5484134 Fax : 5333478
Email : smk_negeri_17@yahoo.co.id

Nomor : 001/VI/MGMP/’11 06 Juni 2011
Lampiran : -
Perihal : Undangan Desiminasi Guru Pemasaran

Yth.
Kepala Sekolah SMK ..............

di
Tempat

Dengan hormat,
Sehubungan akan diadakan desiminasi Diklat Guru Pemasaran, dan Diklat MGMP Guru Pemasaran se Jakarta Barat, mohon kiranya Bapak/Ibu Kepala Sekolah menunjuk salah seorang guru Pemasaran untuk menghadiri acara tersebut pada :
Hari/tanggal : Rabu, 08 Juni 2011
Waktu : Pukul 8.00 s.d. selesai
Tempat : SMK N 17 Jakarta
Acara : Desiminasi hasil Desiminasi Diklat Guru Pemasaran Tingkat Lanjutan
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan Bisnis dan
Pariwisata.
Nara Sumber : 1. Murniati, S.Pd, SE.
2. Frida Lastiur Lumban Tobing, S.Pd

Atas perhatian Bapak/Ibu/Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Ketua MGMP Pemasaran


Widoyo, S.Pd
NIP. 19621229 199003 1 004

Sabtu, 25 Juni 2011

kesulitan belajar

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan secara terencana dan terpola untuk menciptakan suasana dan memberikan pelayanan agar anak didik belajar secara efektif. Untuk menciptakan suasana pelayanan hal yang esensial bagi gurua dalah memahami bagaimana siswanya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses perolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi anak didiknya.
Dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat mengambarkan bagaimana proses tersebut berlansung. Ahli psikologi behavior memandang bahwa proses belajar terjadi melalui ikatan stimulus-respon, sedangkan psikolgi gestalt berpendapat proses pemerolehan pengetahuan didapat dengan memandang sensasi secara keseluruhan sebagai suatu objek yang memiliki struktur atau pola-pola tertentu, dan ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi. Tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya keluhan kesulitan siswa dalam belajar. Oleh karenaitu, perlu diketahui penyebab terjadinya kesulitan dan bagaimana mangatasinya. Lebih jauh tulisan ini ingin mengetahui beberapa faktor kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar, apakah faktor siswa misalnya motivasi, faktor guru, metode, bahasa, apakah materi bahan pelajaran , apakah lingkungan sekolah misalnya sarana prasarana (buku-buku perpustakaan) khususnya buku-buku pendidikan yang tersedia?, sehingga dapat dicari langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi kesulitan tersebut dengan harapan tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif.
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungannya”. (Slameto). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku. Kedua, perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar. Dengan demikian, seseorang dikatakan belajar apabila setelah melakukan kegiatan belajar ia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu perubahan. Misalnya, ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, ketrampilannya meningkat, sikapnya semakin positif, dan sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan tingkah laku tampa usaha dan tampa disadari bukanlah belajar.
Dari pengertian belajar diatas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Hal ini berarti bahwa belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar dalam tulisan ini yang dimaksud adalah pengetahuan. Perolehan hasil belajar dapat dilihat, diukur, atau dirasakan oleh seseorang yang belajar atau orang lain, tertapi tidak demikian halnya dengan proses belajar bagi seseorang yang sedang belajar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah terjadinya proses belajar sehingga seseorang memperoleh pengetahuan?.
Terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya sulit untuk diamati karena ia berlansung di dalam mental. Namun demikian, kita dapat mengidentifikasi dari kegiatan yang dilakukannya selama belajar. Sehubungan dengan hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Misalnya Piaget (sebagai “bapak” psikologi kognitif), memandang bahwa pengetahuan terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi. Maksudnya, apabila pada seseorang diberikan suatu informasi (persepsi, konsep, dsb), dan informasi itu sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka informasi itu lansung berintegrasi (berasimilasi) dengan struktur kognitif yang sudah ada dan diperoleh pengetahuan baru. Sebaliknya, apabila informasi itu belum cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka struktur kognitif yang sudah ada direstrukturisasi sehingga terjadi penyesuaian (akomodasi) dan baru kemudian diperoleh pengetahuan baru.
Sebagai contoh, pada anak yang telah memiliki pengetahuan tentang konsep segitiga, kemudian oleh gurupersegi panjang. Karena konsep persegi panjang ini belum cocok dengan konsep segitiga yang telah memiliki anak, maka konsep segitiga itu direstrukturisasi sehingga dapat bersesuaian dengan konsep persegi panjang. Setelah itu, pengetahuan tentang konsep persegi panjang tersebut dapat berintegrasi dengan pengetahuan yang telah ada dan diperoleh pengetahuan baru berupa konsep persegi panjang.
Untuk memahami lebih jauh bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya khususnya pengetahuan , maka tulisan ini akan membahas beberapa pandangan psikologis yang berkaitan dengan hal itu. Ada tiga pandangan psikologi utama yang akan diuraikan dalam tulisan ini yaitu pandangan psikologi Behavioristik, Gestaltik, dan Konstruktivistik. Uraian dalam tulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal untuk memahami, mendorong, dan memberikan arah terhadap kegiatan belajar-mengajar di sekolah.







BAB II
PEMBAHASAN

Beberapa teori pemerolehan pengetahuan menurut pandangan beberapa para ahli diantaranya adalah:
1. Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Psikologi Behavioristik
Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam Orton, Resnick), menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon tertentu.
Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo teori Thorndike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton ) mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat ; (2) Hukum akibat (law of effect) yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasaan maka asosiasi akan semangkin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasaan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, yang membagi penguatan menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan, penguatan negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku berpendapat hampir senada dengan hukum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan.
Gagne yang disebut Orton sebagai modern neobehaviourists membagi belajar dalam delapan jenis, yaitu dimulai dari belajar yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar di dalam praktiknya, kedelapan tipe/jenis belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respon.
Hal tersebut dapat dijelaskan dari pendapat Gagne (dalam Hudojo), bahwa setiap jenis belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan. Tahap pertama pemahaman, setelah seseorang yang belajar diberi stimulus, maka ia berusaha untuk memahami karakteristiknya (merespon) kemudian diberi kode (secara mental). Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menguasai stimulus yang diberikan yaitu pada tahap kedua (tahap penguasaan). Pengetahuan yang diperoleh dari tahap dua selanjutnya disimpan atau diingat, yaitu pada tahap ketiga (tahap pengingatan). Terakhir adalah tahap keempat, yaitu pengungkapan kembali pengetahuan yang telah disimpan pada tahap ketiga.
Berdasarkan pandangan psikologi behavior di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal antara stimulus dan respon. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh dari sekumpulan ikatan stimulus-respon, semakin sering asosiasi ini digunakan apalagi diberi penguatan, maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi. Jika dihubungkan dengan pengetahuan , hal ini berarti semakin sering suatu konsep (pengetahuan) diulangi maka konsep itu akan semakin dikuasai. Sebagai contoh, apabila seorang anak telah mengetahui bahwa 3 X 4 sama dengan 12, kemudian anak tersebut sering ditanya tentang halitu, maka ia akan semakin paham dan bahkan secara otomatis dapat menjawab dengan benar apabila ditanya, karena ikatan stimulus yaitu “3X4” dengan responnya yaitu “12” akan semakin kuat.

2. Pemerolehan Pengetahuan Menurut Pandangan Psikolgi Gestaltik
Psikologi gestalt dikembangkan di Eropa pada sekitar tahun 1920-an. Psikologi gestalt memperkenalkan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi (behaviorism). Teori gestalt dibangun dari data hasil eksperiman yang sebelumnya belum dapat dijelaskan oleh ahli-ahli teori asosiasi. Meskipun pada awalnya psikologi gestalt hanya dipusatkan pada fenomena yang dapat dirasa, tetapi pada akhirnya difokuskan pada fenomena yang lebih umum, yaitu hakekat belajar dan pemecahan masalah. (Resnick & Ford).

Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi gestalt sebagai sesuatu yang penting. Berpikir bukan hanya proses pengaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut prinsip tertentu. Katona, seorang ahli psikologi gestalt yang lain, juga tidak sependapat dengan belajar dengan pengaitan stimulus dan respon. Berdasarkan hasil penelitiannya ia mambuktikan bahwa belajar bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur, melainkan juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih sederhana (Resnick & Ford).
Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah (Orton). Para pengikut gestalt berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian, maka strukturnya tidak jelas. Menurut Katona (dalam resnick & Ford) penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk dapat memahaminya dengan tepat
Jadi, menurut pandangan psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat stukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami.

3. Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Konstruktivistik
Matthews (Suparno) secara garis besar membagi aliran konstruktivisme menjadi dua, yaitu konstruktivisme psikologi dan sosiologi. Kemudian konstruktivisme psikologi juga dibagi menjadi dua yaitu:
(1) kontruktivisme radikal, yang lebih bersifat personal, individual dan sukyektif, dan aliran ini dianut oleh Piaget dan pengikut-pengikutnya;
(2) konstruktivisme sosial, yang lebih bersifat sosial,
Aliran ini secara tegas membagi tiga yaitu aliran konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah (weak constructivism). Selanjutnya, yang akan dibahas dalam tulisan ini hanyalah konstruktivisme psikologi radikal yang dipelopori oleh Piaget dan konstruktivisme sosial yang dipelopori oleh Vygotsky.
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme psikologi/radikal dalam belajar dipelopori oleh Piaget (Suparno, 1997: 21). Piaget mempunyai perbedaan pandangan yang sangat mendasar dengan pandangan kaum behavior dalam pemerolehan pengetahuan. Bagi kaum behavior pengetahuan itu dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan stimulus-respon. Piaget berpandangan bahwa pemerolehan pengetahuan seperti itu ibarat menuangkan air dalam bejana. Artinya, pebelajar dalam keadaan pasif menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru/pengajar. Bagi Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, Piaget berpendapat bahwa skemata yang terbentuk malalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan perolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang/pembelajar terhadap lingkungan sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi yang disebut pengetahuan (Bell, 1981: Stiff dkk.,1993)
Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb) atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara lansung diasimilasikan pada skemata tersebut.
Hal itu, dikarenakan informasi baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata yang lama, maka akan dibentuk skemata baru yang cocok dengan informasi itu. Sebaliknya, apabila informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skemata yang telah ada, maka skemata yang lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan informasi baru itu.
Dengan kalimat lain, pandangan Piaget di atas dapat dijelaskan bahwa apbila suatu informasi (pengetahuan) baru dikenalkan kepada seseorang dan pengetahuan itu cocok dengan skema/skemata (struktur kognitif) yang telah dimilikinya maka pengetahuan itu akan diadaptasi melalui proses asimilasi dan terbentuklah pengetahuan baru. Sedangkan, apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu tidak cocok dengan struktur kognitif yang sudah ada maka akan terjadi disequilibrium, kemudian struktur kognitif tersebut direstrukturisasi kembali agar dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi equilibrium, sehingga pengetahuan baru itu dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasikan menjadi pengetahuan skemata baru
Untuk memperjelas uraian di atas perhatikan ilustrasi berikut, Misalkan, pada seorang anak bernama Jhony telah terbentuk skemata tentang persamaan yaitu pengertian persamaan , bentuk umum persamaan (Utang + Modal = H), dan teknik penyelesaiannya. Suatu ketika kepadanya diperkenalkan persamaan HPP Persediaan awal + pembelian-persediaan akhir = HPP. Karena pengetahuan yang terbentuk dalam skemata Gibran adalah tentang persamaan dan tidak cocok dengan persamaan HPP, maka Gibran akan mengalami dis-equilibrium. Agar skemata tentang persamaan HPP itu dapat dibentuk, maka skemata tentang persamaan yang telah ada direstrukturisasi sehingga persamaan HPP dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasi dan diadaptasi, sehingga terjadilah keadaan equilibrium. Akhirnya, terbentuklah skemata baru atau pengetahuan baru yaitu persamaan HPP
Dengan demikian, asimilasi dan akomodasi merupakan dua aspek penting dari proses yang sama yaitu pembentukan pengetahuan. Kedua proses situ merupakan aktivitas secara mental yang hakekatnya adalah proses interaksi antara pikiran dan realita. Seseorang menstruktur hal-hal yang ada dalam pikirannya, namum bergantung pada realita yang dihadapinya. Jadi, adanya informasi dan pengalaman baru sebagai realita mengakibatkan terjadinya rekonstruksi pengetahuan yang lama yang disebut proses asimilasi-akomodasi sehingga terbentuk pengetahuan baru sebagai skemata dalam pikiran seseorang.
Pengikut aliaran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner. Meskipun Bruner mengklaim bahwa ia bukan pengikut Piaget, tetapi teori-teori belajarnya sangat relevan dengan tahap-tahap perkembangan berpikir seperti yang dikemukakan Piaget. Salah satu teori belajar Bruner yang mendukung paham konstruktivisme adalah teori konstruksi. Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme sosial dipelopori oleh Vygotsky. Secara umum, penganut paham konstruktivisme sosial memandang bahwa pengetahuan merupakan konstruksi sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan adalah pengetahuan bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk membentuk pengetahuan subyektif yang selanjutnya melalui publikasi akan terbentuk pengetahuan , obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri merupakan masalah sosial.
Lebih lanjut konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengethuan obyektif malalui suatu publikasi. Pengetahuan obyektif diinternalisasi dan dikonstruksi oleh siswa selama proses belajar . Hudojo (2003: 1) menjelaskan proses rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa. Pertama, pengetahuan obyektif ditepresentasikan siswa dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji, menyelidiki, menjelaskan, memperluas, mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi konsepsi awal. Kedua, konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif. Ketiga, pengetahuan subyektif tersebut di kerjasamakan dengan siswa lain, guru dan perangkat belajar (siswa, guru dan perangkat pembelajaran) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Keempat, yang direkonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding dan direpresentasikan oleh kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi siswa setelah belajar sehingga menjadi pengetahuan obyektif .

4. Beberapa faktor Kesulitan
Faktor Penyebab Kesulitan Belajar yang dicapai seseorang dalam belajar tidak selalu sama. Ada hal-hal yang dapat mengakibatkan kegagalan atau gangguan yang bisa menghambat kemajuan belajar. Faktor penghambat dalam belajar dapat digolongkan menjadi empat macam, seperti yang dikemukan Oemar Hamalik dalam bukunya Metode Belajar dan Kesulitan Belajar yaitu :
1. Faktor-faktor yang bersumber dari diri anak adalah sebagai berikut :
a. Kesehatan yang sering terganggu
b. Kecakapan mengikuti pelajaran
c. Kebiasaan belajar
d. Kurangnya penguasaan bahasa
2. Faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah :
a. Cara memberikan pelajaran
b. Kurangnya bahan-bahan bacaan
c. Bahan pelajaran tidak sesuai dengan kemampuan
d. Penyelenggaraan pengajaran terlalu padat.
3. Faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga :
a. Masalah broken home
b. Keinginan untuk kembali ke tempat asal (pulang ketempat kelahiran)
c. Bertamu dan menerima tamu
d. Kurangnya kontrol orang tua.
4. Faktor yang bersumber dari lingkungan masyarakat :
a. Gangguan dari jenis kelamin lain
b. Bekerjaa disamping belajar di sekolah
c. Aktif berorganisasi
d. Tidak dapat membagi waktu, rekreasi dan waktu senggang
e. Tidak mempunyai teman belajar.

Keempat faktor di atas, tidak jauh berbeda dengan faktor yang dikemukan oleh Sukirin dalam bukunya, Psikologi Pendidikan, yaitu :
1. Faktor pada diri orang yang belajar fisik dan mental psikologi
2. Faktor di luar diri orang yang belajar alam dan sosial
3. Faktor sarana fisik dan nonfisik.
Gejala kesulitan Belajar dalam proses belajar mengajar sudah menjadi harapan setiap guru agar siswanya dapat mencapai prestasi. Namun, pada kenyataan hasilnya tidak selalu seperti yang diharapkan. Beberapa siswa menunjukkan nilai kurang meskipun sudah diusahakan dengan sebaik-baiknya.
Kesulitan belajar merupakan suatu gejala yang dapat dilihat dalam berbagai jenis kenyataan. Di sini guru sebagai orang yang bertanggung jawab dalam proses belajar mengajar berperan untuk dapat memahami gejala-gejala kesulitan belajar. Bagi seorang gru/pengajar yang memahami kesulitan belajar siswa merupakan dasar dalam usaha memberi bantuan kepada siswa. Beberapa cirri tingkah laku kesulitan belajar:
a. Menunjukkan hasil belajar yang rendah
b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan.
c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar
d. Menunjukkan sikap yang kurang wajar, seperti acuh tak acuh, suka menentang, dusta.
e. Menunjukkan tingkah laku yang berlainan, seperti suka membolos, tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR).
f. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti perenung, rendah diri, sedih, menyesal, pemarah, mudah tersinggung dsb.

Mengatasi Kesulitan Belajar
Tiap siswa tentu memiliki keinginan supaya dalam belajar dapat berhasil sebaik-baiknya. Tidak ada yang mengharapkan kegagalan dalam belajar. Kegagalan akan menimbulkan kekecewaan, malas belajar, rendah diri atau bahkan mungkin dapat mempengaruhi jiwanya.
Demikian juga harapan guru, sebagai pendidik dan pengajar menghendaki siswanya berhasil belajar dengan baik tampa mengalami hambatan. Dalam buku Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar oleh Suparno, S. dan Koestoer, H. Partowisastro. dikatakan bahwa salah satu tugas paling sulit bagi gurudan penyuluh pendidikan ialah mengadakan diagnosis dan membantu memecahkan kesulitan belajar yang dihadapai siswa.
Dengan demikian tidak dapat diketahui dengan pasti apakah suatu cara pemecahan kesulitan dapat digunakan untuk menolong memecahkan kesulitan setiap siswa. Dalam pemecahan masalah diperlukan langkah-langkah tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu:
1. Penelaahan status. Tahap ini merupakan tahap identifikasi hakikat dan seberapa luas cakupan masalah kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa.
2. Perkiraan sebab. Tahap ini merupakan perkiraan alasan atau sebab yang mendasari pola hasil belajar yang diperliatkan oleh siswa yang bersangkutan.
3. Pemecahan dan penilaian. Tahap ini merupakan tahap usaha menghilangkan sebab timbulnya kesulitan yang dihadapi siswa, dan apabila tidak dapat disembuhkan, akan menjadi tahap untuk memberikan bantuan kepada siswa sesuai dengan sebabnya.
Dalam usaha untuk memecahkan kesulitan belajar tersebut, guruharus mengetahui tingkat kesulitan yang dihadapi siswa. Mengingat keanekaragaman individu siswa, maka tingkat-tingkat kesulitan belajar yang mereka hadapi juga akan bermacam-macam.
Disamping usaha pemecahan kesulitan belajar yang dilakukan dengan melihat tingkatannya, gurudapat juga melakukan perbaikan dengan memilih cara, seperti yang dikemukakan oleh Warji R, dan Ischak Sw. yaitu proses perbaikan dilakukan dengan jalan mengajarkan kembali bahan yang sama kepada para siswa yang memerlukan bantuan dengan cara penyajian yang berbeda dalam hal sebagai berikut :
1. Mengajarkan kembali (Re-Teaching)
a. Kegiatan belajar mengajar dalam situasi kelompok yang telah dilakukan
b. Melibatkan siswa pada kegiatan belajar
c. Memberikan dorongan (motivasi/penggalakan) kepada siswa pada kegiatan belajar yang meliputi ; bimbingan individu/kelompok kecil, memberikan pekerjaan rumah dan menyuruh siswanya mempelajari bahan yang sama dari buku-buku, buku paket atau sumber-sumber bacaan yang lain.
2. Gurumenggunakan alat Bantu audio-visual yang lebih banyak
3. Bimbingan oleh guru/ pengajar dengan jalan ; banyak mengenal siswa yang menjadi asuhannya, memberikan saran-saran dan mengiatkan tugas-tugas belajar dirumah, dan atau mengirimkan/merekomendasikan kepada pembimbing, jika ada yang memerlukan bantuan individu yang lebih lanjut.
4. Guru bidang studi berusaha memberikan motivasi belajar pada bidang studi masing-masing dengan memberikan pendekatan manusiawi, memberikan keputusan dan kemauan pada siswa dengan memberikan perhatian, hadiah dan teguran dan atau menun jukkan watak khas dalam mempelajari bidang studi yang diasuhnya dan menunjukkan tingkah laku yang baik, mengirim kepada pembimbing (BP).
Berbagai cara penanganan kesulitan belajar sebagaimana dikemukakan di atas pada dasarnya dapat diterapkan dalam konteks pembelajaran mengingat diagnosis masalah kesulitan belajar siswa itu bersifat general dank arena itu hamper dapat dikatakan berlaku sama pada setiap tindakan pembelajaran termasuk pembelajaran di kelas.
BAB III
KESIMPULAN

Kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar dapat dikelompokkan ke dalam dua unsur utama, yaitu pertama, internal (bersumber dari diri siswa itu sendiri, misalnya kurang motivasi atau tidak mengetahui bagaimana metode atau cara belajar yang efisien): dan kedua, eksternal (bersumber dari luar, misalnya fasilitas yang belum mencukupi terutama buku-buku literature, masih relative minimnya buku paket yang tersedia di perpustakaan sekolah; dan faktor-faktor lainnya).
Untuk mengatasi kesulitan belajar khususnya , motivasi belajar pada setiap siswa perlu mendapat perhatian, baik secara kelompok maupun individu. Motivasi ini merupakan aspek fundamental yang harus didorong karena melakukan sesuatu mestilah dimulai dengan motivasi. Kegiatan siswa juga harus diorientasikan pada usaha untuk meningkatkan prestasi belajar.
Dalam hal pendekatan, perlu menerapkan pendekatan yang lebih tepat dalam proses belajar mangajar di sekolah. Pendekatan tersebut haruslah pendekatan yang lebih berorientasi pada pembelajaran secara kontekstual atau apa yang popular dewasa ini dengan pendekatan contextual teaching and learning (CTL), misalnya memperbanyak pemberian tugas dalam bentuk pemecahan masalah, baik secara kelompok maupun mandiri di kelas; memperhatikan keluhan dan kesulitan yang dihadapi siswa di dalam atau diluar kelas.

Daftar Pustaka

Ernest, Paul. 1996. “Varieties of Constructivism: A Framework For Comparison”. In Seteffe, L.P. & Nesher, Pearla (Ed). Theories of Matehmatical Learning. New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates, Publisher.
Hamalik, Umar, Drs. (1982). Metode belajar kesulitan-kesulitan belajar, Bandung, Tersito.

Hudoyo, Herman. 1990, Strategi Mengajar Belajar , Malang: IKIP Malang
-------- , 1998. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivistik (Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan PPS IKIP Malang). Malang.

-------- , 2003. Guru Konstruktivis (Constructivist Mathematics Teacher).(Makalah disajikan dalam seminar Nasional Pendidikan tanggal 27-28 Maret 2003 di Universitas Sanata Darma): Yogyakarta.

Karo karo, Ign. Ulih Bukit, Drs. (1981). Metodologi Pengajaran (Suatu Pengantar), Salatiga : CV, Saudara.

Orton, Anthony. 1991. Learning Mathematics: Issue, Theory and Classroom Practice. Lowa: Cassel

Resnick, B.L. & Ford, W.W. 1981. The psychology of Mathematics for Instruction. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta : Rineka Cipta.

Stiff, V.L, Johnson,L.J and Johnson, R.M.1993. “Cognitive Issue in Mathematics Education”. In Wilson. I & Patricia. S (Ed). Reseach Ideas for The Classroom: High School Mathematics. New York: Macmillan Publishing Company.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pandidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Suparno, S. dan Koestoer, H. Partowisastro. (1986). Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar I. Jakarta: Erlangga.

Surahman, Winarno, Prof. Dr. Ma. Ed. (1983). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik. Bandung: Tersito.

Tim SMU, PT. Galaxy Puspa Mega.
Warji R, dan Ischak Sw. (1987) Program remedial dalam proses belajar mengajar. Yogyakarta: Liberty.

mengelola konflik

MENGELOLA KONFLIK

LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia dengan maksud membantu peserta didik mencapai kedewasaan. Pendidikan juga merupakan suatu upaya menuju kearah perbaikan hidup dan kehidupan manusia yang lebih baik. Untuk itu pendidikan berlangsung tanpa awal dan akhir, tanpa ada batas ruang dan waktu yang dikenal dengan istilah Life Long Education (pendidikan seumur hidup).
Pendidikan juga merupakan salah satu motor pembangunan nasional guna meningkatkan taraf hidup suatu negara dan selayaknya pendidikan mendapat perhatian dari semua pihak. Meningkatnya permintaan masyarakat akan kebutuhan pendidikan merupakan tantangan dari semua pihak termasuk lembaga penyedia pendidikan. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat akan pendidikan, maka merupakan tantangan bagi setiap lembaga pendidikan untuk menjawab kebutuhan masyarakat tersebut.
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hingga dewasa ini adalah rendahnya tingkat kinerja guru yang disebabkan oleh permasalahan atau konflik yang terjadi antar guru. Apabila guru mengalami permasalahan atau konflik baik antar guru maupun guru dengan kepala sekolah maka yang terjadi adalah turunnya kinerja guru. Pada gilirannya mutu pendidikan di sekolah mereka bekerja akan menjadi tidak berkualitas.
Sekolah sebagai suatu organisasi, menganut sistem yang dikenal dengan sistem input-output (masukan dan keluaran). Maksudnya adalah keberhasilan suatu sekolah diukur berdasarkan pencapaian tujuan pendidikan dan moral, akan tergantung pada bagaimana komponen atau sumber daya yang ada (pendidik, tenaga kependidikan dan dana). Sumber daya manusia memegang peranan sentral dalam pencapaian tujuan.
Pada saat ini, terdapat kecenderungan untuk menunjuk guru sebagai salah satu faktor penyebab minimnya kualitas lulusan sekolah. Kritikan mulai dari ketidakmampuan guru dalam mendidik, dan mengajarkan ilmu kepada anak didiknya, manajemen kefektifan guru dalam mengajar sampai pada permasalahan yang terjadi antara guru dengan siswa, guru dengan guru dan guru dengan kepala sekolah. Masalah antara guru dengan guru atau guru dengan kepala sekolah tampaknya cukup berpengaruh terhadap hasil kerja guru. Guru yang tidak punya konflik akan memiliki komitmen yang penuh pada sekolah dan menunjukkan keterlibatan kerja. Adanya komitmen ini mendorong guru untuk menerima tujuan dan nilai-nilai organisasi. Penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi akan membuat guru merasa bertanggung jawab untuk turut serta mewujudkan tujuan tersebut dalam bentuk partisipasi aktif pada berbagai kegiatan pendidikan. Disamping itu dengan, dengan adanya komitmen guru dapat juga lebih meningkatakan kinerja guru.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Yang dimaksud dengan profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu dan norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Untuk itu guru sebagai pendidik profesional menjadi ujung tombak keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Kedudukan guru sangat strategis dengan tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jenjang pendidikan formal, pendidikan menengah dan pendidikan anak usia dini. Dalam melaksanakan tugasnya tidak terlepas dari fungsi dan peran kepala sekolah sebagai pemimpin.
Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar atau pembelajaran masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam pembelajaran belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder televisi, komputer ataupun internet. Masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti seperti sikap, efektifitas manajemen mengajar, sistem nilai, perasaan motivasi, kebiasaan dan lain-lain yang diharapkan merupakan hasil dari proses pembelajaran.



RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang maslah di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut ”Bagaimana cara mengelola konflik”.



















PEMBAHASAN

A. Pengertian Konflik
Konflik adalah percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Konflik tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikendalikan, dikelola bahkan disinergiskan menjadi sesuatu yang dinamis. Pengendalian konflik merupakan salah satu tugas pemimpin dalam kepemimpinannya. Efektifitas kepemimpinan dapat dinilai dari bagaimana ia mampu mengendalikan dan mengelola konflik. Konflik sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Konflik merekat erat dalam jalinan kehidupan manusia. Umat manusia selalu berjuang dengan konflik. Oleh karena itu hingga saat ini manusia dituntut untuk memperhatikan konflik sebagai suatu kewajaran. Pertentangan atau konflik akan selalu ada selama manusia itu ada, baik secara individu maupun kelompok atau dalam kehidupan bermasyarakat.
Konflik merupakan bagian dari perlawanan, ketidak setujuan atau ketidak sesuaian antara dua orang/kelompok atau lebih. Dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari, konflik sangat mungkin terjadi karena individu-individu yang hidup dalam suatu masyarakat berasal dari latar belakang yang sangat beragam yang memiliki pandangan yang beragam terhadap suatu masalah, dan juga memiliki kebutuhan yang beragam.
Konflik merupakan gejala yang wajar yang dapat berakibat negatif atau positif tergantung bagaimana konflik tersebut dikelola. Berdasarkan pernyataan tersebut, jika kita dapat mengelola konflik dengan baik, maka efek yang ditimbulkan dari konflik tersebut dapat berupa efek positif yang bermanfaat, paling tidak konflik yang terjadi dapat diatasi tanpa merugikan pihak manapun.




B. Jenis-jenis Konflik
Konflik dapat dikategorikan tiga kelompok yaitu :
1). Konflik Berdasarkan Pelakunya
Konflik bersifat internal dan eksternal bagi orang yang mengalaminya. Konflik yang bersifat internal menggambarkan konflik yang ada pada pelaku itu sendiri tanpa melibatkan orang lain atau kelompok lainnya. Konflik semacam ini bisa disebut konflik batin yaitu terjadinya perbedaan antara dorongan atau motif dengan tujun yang ingin dicapai (Rue ang Loyd. 1997 : 90).
Tujuan yang ingin dicapai mempunyai positip dan negatif. Terhadap tujuan tersebut, maka ada beberapa penafsiran sebagai berikut :
a. Memiliki kebaikan yang saling geser mutlak (mutually exklusive), sehingga individu yang bersangkutan harus menentukan salah satu karena tidak dapat dipilih secara bersamaan.
b. Memiliki unsur yang positip dan negatif apabila individu yang bersangkutan tidak dapat menyatakan atau berangapan bahwa hal negatif tersebut adalah resiko untuk memperoleh kebaikan dari tujuan tersebut, maka mempertimbangkan antara kebaikan dan keburukan tujuan tersebut sering menimbulkan frustasi individu yang bersangkutan.
c. Memiliki unsur yang positip dan negatif apabila yang bersangkutan tidak dapat memilih tujuan mana yang sifatnya negatif lebih kecil, maka mempertimbangkan antara dua keburukan tujuan tersebut dapat menimbulkan frustasi bagi yang bersangkutan.
Menurut Rue dan Byars, konflik eksternal ini terdiri dari tiga jenis yaitu :
a). Konflik Struktural
Konflik ini diakibatkan struktur organisasi dan relatif terpisah dari individu yang menduduki peranan di dalam struktur tersebut. Ketidak jelasan peranan (role ambiguity) atau hambatan komunikasi juga sering menyebabkan timbulnya konflik secara struktural.
Disamping ketergantungan pada sumber daya tersebut yang langka, bagian-bagian yang memiliki kebutuhan yang sama terhadap sumber daya tersebut memiliki peluang untuk menimbulkan konflik. Salah satu sumber konflik tersebut diperkuat oleh hasil penelitian ahli yang menyatakan bahwa keterbatasan sumber daya menimbulkan potensi konflik yang tenang tetapi membahayakan ( James D. Sharingam. 1996 : 19 ). Konflik ini dikenal dengan konflik substantif (substantive issues), yaitu ketidak cocokan terhadap kebijakan dan praktek, kompetisi terhadap sumber daya yang langka dan konflik atas peranan serta tanggung jawab.
b). Konflik Antar Individu
Konflik antar individu dapat diakibatkan adanya konflik struktural, ketidak senangan terhadap orang lain atau faktor lainnya. Konflik ini terjadi pada waktu timbul hambatan komunikasi diantara pihak-pihak yang bersangkutan. Konflik semacam ini disebut juga konflik emosional (emosional issues), yaitu perasaan negatif antar individu seperti ketakutan, ditolak, sentimen, marah, dan tidak percaya diri. Konflik ini bisa jadi dirasakan oleh satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak merasakan adanya hal yang sama bahkan mungkin sama sekali tidak mengetahui adanya konflik semacam itu.
c). Konflik Strategis
Konflik strategis biasanya dimulai dengan direncanakan terlebih dahulu dalam rangka melaksanakan tujuan tertentu seperti menimbulkan kompetisi diantara pegawai, guna memperoleh bonus, komisi, promosi, memilih pekerjaan tertentu, atau untuk mendapatkan penghargaan


2). Konflik Berdasarkan Penyebabnya
Berdasarkan penyebabnya, konflik dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu :
a). Konflik Kepentingan (interest conflict)
Konflik ini terjadi apabila individu-individu atau organisasi-organisasi mencari keuntungan atau kepentingan material dan status atau kekuasaan di atas kepentingan pihak lain. Hal ini biasanya ditimbulkan oleh langkanya sumber daya.
b). Konflik Afektif (affective conflict)
Konflik ini terjadi akibat timbulnya pertentangan antara pihak-pihak yang memiliki pendapat, nilai atau norma yang berbeda dan bukan diakibatkan oleh sumber daya atau kekuasaan, melainkan berkaitan dengan falsafah atau sikap dalam kepribadian pihak-pihak yang terlibat.
3). Konflik Berdasarkan Akibatnya
Konflik berdasarkan akibatnya dibedakan menjadi dua yaitu konflik fungsional (fungcional conflict), dan konflik tidak baik (dysfunctional conflict). Konflik fungsional mendukung tujuan dari kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok yang bersangkutan. Dengan kata lain konflik ini bersifat konstruktif. Sedangkan konflik yang tidak baik adalah konflik yang memiliki sifat destruktif. Agar dapat memberikan manfaat yang optimal, maka manajer berkewajiban mengelola konflik dengan benar, karena pengelolaan konflik merupakan keahlian yang sangat penting bagi manajemen. Konflik-konflik yang muncul memerlukan strategi-strategi berlaian dari yang bersangkutan.

C. Penyebab Konflik
1. Perbedaan cara pandang
Seringkali konflik terjadi karena adanya perbedaan cara pandang. Seorang teman yang berpandangan bahwa belajar harus dilakukan dengan prinsip-prinsip biar lambat asal sempurna. Teman ini seringkali mendapat hambatan bekerja sama dengan teman lain yang berpandangan bahwa yang penting pekerjaan bisa diselesaikan dengan cepat dan tepat waktu, kekurangan bisa diperbaiki kemudian.
2. Perbedaan tujuan
Konflik juga terjadi karena adanya perbedaan tujuan dan kepentingan antara tujuan individu dalam tim dan tujuan tim. Orang seperti ini akan mendapat masalah jika bekerja sama dengan rekannya.
3. Perbedaan pemahaman
Konflik sering juga terjadi karena miskomunikasi yang menimbulkan perbedaan pemahaman. Hal ini bisa terjadi karena penjelasan yang didengar, fakta yang dikumpulkan kurang lengkap ataupun kurang akurat. Pemahaman yang setengah-setengah, tidak tuntas tersebut, berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya saja, kita menawarkan pertolongan kita pada teman kita yang terlihat terlalu banyak dibebani dengan pekerjaan. Bisa saja ini disalahartikan oleh teman kita tersebut sebagai penghinaan karena mereka merasa bahwa kita menganggap mereka kurang mampu melakukan pekerjaan mereka, padahal kita yang sudah lebih dulu menyelesaikan pekerjaan, memang tulus ingin membantu mereka.
D. Akibat-akibat Konflik
Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola konflik tersebut.
a. Akibat negative
1. Menghambat komunikasi.
2. Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
3. Mengganggu kerjasama atau “team work”.
4. Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
5. Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
6. Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi.
menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.

b. Akibat Positif dari konflik
1. Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
2. Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
3. Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
4. Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
5. Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.

E. Cara Mengatasi Konflik
Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul. Adapun cara mengatasi konflik dapat dengan :
1. Akhiri pertengkaran (rujuk)
Suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama. Hentikan percakapan tegang yang sedang terjadi. Terangkan pada kedua belah pihak bahwa mereka harus menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan pertikaian ini. Tekankan pada mereka bahwa “debat kusir” tidak akan menyelesaikan masalah.
2. Dengarkan masalah satu persatu
Mintalah mereka untuk menceritakan masalahnya satu persatu. Saat masalah dikemukakan oleh satu orang, yang lain harus mendengarkan dengan cermat supaya tak terjadi salah paham. Setelah masing-masing pihak mengeluarkan ‘suara’, carilah kesesuaian atau kesepakatan, hingga tercapai kesamaan tujuan.
3. Putuskan apa masalahnya
Setelah masing-masing pihak mengungkapkan penjelasan, tanyakan apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Dengarkan apa kata si A dan si B, dan pahami problemnya. Setelah jawaban terkumpul, rumuskan apa masalah yang sedang terjadi.
4. Persuasi
Usaha mengubah posisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
5. Negosiasi (tawar-menawar)
Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.
6. Pimpin tim Anda menuju suatu Solusi
Setelah rumusan masalah telah dibuat, perhatikan dan cari keputusan bersama. Biarkan kedua belah pihak membicarakan masalah yang mereka hadapi. Usahakan menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak. Lalu, carilah solusi supaya semua pihak senang.
F. USAHA MENCEGAH KONFLIK
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usaha mencegah konflik :
1. Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
2. Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.
3. Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan.
4. Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul.
5. Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.
7. Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat.
8. Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/eselon.
G. KESIMPULAN
Konflik merupakan suatu hal yang pasti terjadi dalam kehidupan bermasyarakat baik dalam kehidupan masyarakat umum ataupun pada kehidupan berasrama. Suatu konflik pasti terjadi dalam suatu temapat jika di tempat tersebut terdapat individu-individu yang hidup bersama dan melakukan interaksi sosial.
Konflik dapat menimbulkan dampak positif atau dampak negatif terhadap lingkungan sekitar dimana konflik tersebut terjadi tergantuk bagaimana kita megelola konflik tersebut. Mencegah suatu konflik terjadi lebih baik daripada mengatasi konflik yang telah terjadi, karena setiap konflik menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap lingkungan `
Manajemen konflik sangat dibutuhkan dalam suatu kehidupan sosial, karena manajemen konflik mengeola konflik yaitu dengan cara menganggulangi potensi-potensi yang dapat menimbukan konflik, menagnggulangi konflik yang telah terjadi, dan juga menanggulangi dampak-dampak yang terjadi akibat dari suatu konflik.
Dalam kehidupan berasrama pada sekolah yang menggunakan konsep boarding school juga dibutuhkan manajemen konflik yang baik, karena para penghuni dalam suatu asrama tersebut merupakan para pelajar yang memiliki latar berlakang dan sifat-sifat yang sangat berragam, sehingga potensi terjadinya konflik sangat besar jika tidak dikelola dengan baik. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik yang terjadi dalam suatu asrama juga cukup merugikan bagi para penghuni asrama tersebut.





DAFTAR PUSTAKA

Robbins, S. P . 2007. Perilaku Organisas, .Jakarta: Mancanan Jaya Cemerlang.
Reksohadiprodjo & Handoko. 1995. Organisasi Perusahaan: teori, Struktur dan Perilaku. Yogyakarta : BPFE.
Rustandi, R.A. 1987, Gaya Kepemimpinan (Pendekatan Bakat Situasional), Bandung: PT. Armico.
http://mahapena.wordpress.com/2011/03/04/mengatasi-konflik-dengan-orang-lain/
http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-teori-teori-konflik/

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/manajemen-konflik/

http://warnadunia.com/manajemen-konflik/

http://digilib.usu.ac.id/download/fe/manajemen-ritha/
PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENDIDIKAN

MATA KULIAH
FILSAFAT ILMU

DOSEN
DR. NANDAN LIMAKRISNA, IR. MM. M.QM

TUGAS AKHIR SEMESTER

OLEH
W I D O Y O
101120256










PROGRAM STUDY MAGISTER MANAJMEN
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS KALBE
J U NI 2011

Jumat, 24 Juni 2011

PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENDIDIKAN

PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN
DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENDIDIKAN

B. Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instingnya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik anak-anaknya, begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.
Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban. Butir kedua dan ketiga tersebut memberikan pengertian bahwa pendidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi pertolongan bagi umat manusia.
Landasan Pendidikan marupakan salah satu kajian yang dikembangkan dalam berkaitannya dengan dunia pendidikan. Adapun cakupan landasan pendidkan adalah : landasan hukum, landasan filsafat, landasan sejarah, landasan sosial budaya, landasan psikologi, dan landasan ekonomi. Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai landasan filsafat.
Filsafat ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum. sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Jadi berfikir filsafat dalam pendidikan adalah berfikir mengakar atau menuju akar atau intisari pendidikan. Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
B. Landasan Filsafat
Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti: Apakah pendidikan itu ? Mengapa pendidikan itu diperlukan? Apa yang seharusnya menjadi tujuanya, dan sebagainya. Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat atau filsafat (falsafah, falsafah). Kata filsafat (philosophy) bersumber dari bahasa Yunani, philien berarti mencintai, dan sophos atau sophis berarti hikmah, arif, atau bijaksana. Filsafat menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh, dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-konsepsi mengenai kehidupan dan dunia.
Konsepsi-konsepsi filosofis tentang kehidupan manusia dan dunianya pada umumnya bersumber dari dua faktor, yaitu Religi dan etika yang bertumpu pada keyakinan bahwa ilmu pengetahuan mengandalkan penalaran. Filsafat berada diantara keduanya, kawasannya seluas dengan relegi, namun lebih dekat dengan ilmu pengetahuan karena filsafat timbul dari keragua-raguan dan karenanya mengandalkan akal manusia.
Tinjauan filosofis tentang sesuatu, termasuk pendidikan, berarti berpikir bebas serta merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang sesuatu hal. Penggunaan istilah filsafat dapat diartikan dalam dua pendekatan, yakni :
1. Filsafat sebagai kelanjutan dari berpikir ilmiah, yang dapat dilakukan oleh setiap orang serta sangat bermanfaat dalam memberi makna kepada ilmu pengetahuan
2. Filsafat sebagai kajian khusus yang formal, yang mencakup logika, epistimologi (tentang benar atau salah), etika (tentang baik dan buruk), estetika (tentang indah dan jelek), Metafisika (tentang hakikat yang ada, termasuk akal itu sendii), serta sosial dan politik (filsafat pemerintah)
C. Pengertian Tentang Landasan Filsafat
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra itu. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan, dan dari sisi lain pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Filsafat pendidikan merupakan jawaban secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan pokok sekitar pendidikan, seperti apa mengapa, kemana, dan bagaimana, dan sebagainya dari pendidikan itu. Kejelasan berbagai hal itu sangat perlu untuk menjadi landasan berbagai keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan. Hal itu sangat penting karena hasil pendidikan itu akan segera tampak, sehingga setiap keputusan dan tindakan itu harus diyakinkan kebenaran dan ketepatanya meskipun hasilnya belum dapat dipastikan.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat yang diatas permukaaan laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu metafisika, epistimologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut :
1. Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Dalam kaitanya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu :
a. Manusia pada hakekatnyanya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa atau roh,yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum Idealis, Scholastik,dan beberapa Realisme.
b. Manusia adalah organisme materi. Pandangan ini dianut kaum Naturalis, Materialis, Eksperimentalis, Pragmatis, dan beberapa realisme. Pendidikan adalah untuk hidup Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi menyenangkan.
2. Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, Ada lima sumber pengetahuan yaitu :
a. Pengetahuan
• Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi
• Common sense,yang ada pada adat dan tradisi.
• Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
• Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman
• Pengalaman yan terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
b. Ada empat teori kebenaran
• Koheren, sesuatu akan benar bila konsisten dengan kebenaran umum
• Koresponden, sesuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
• Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya ber manfaat bagi kehidupan.
• Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3. Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan manusia bisa berpikir dengan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan benar.
4. Etika ialah filasafat yang menguraikan tentang perilaku manusia nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangkan perilaku manusia, anatara lain afeksi peserta didik.
Kajian yang dilakukan oleh berbagai cabang filsafat diatas, akan besar pengaruhnya terhadap pendidikan, karena prinsip-prinsip dan kebenaran dari hasil kajian tersebut pada umumnya diterapkan dalam bidang pendidikan. Peranan filsafat dalam pendidikan tersebut berkaiatan dengan hasil kajian antara lain tentang :
1. Keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makluk didunia ini, seperti yang disimpulkan sebagai zoo politicon,homo sapiens,animal educandum dan sebagainya.
2. Masyarakat dan kebudayaanya.
3. Keterbatasan manusia sebagai makluk hidup yang banyak menghadapi tantangan dan
4. Perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan, utamanya filsafat pendidikan

D. Beberapa Aliran Filsafat dalam Pendidikan
Beberapa aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan, misalnya, idealisme, realisme, pragmatisme, humanisme, behaviorisme, dan konstruktivisme. Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya proses introspeksi. Tujuan pendidikan aliran ini membentuk karakter manusia. Aliran realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Paham behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.
Agar uraian tentang filsafat pendidikan itu menjadi lebih lengkap, berikut ini kan diuraikan beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu ialah :
1. Idealisme
2. Realisme
3. Perenialisme
4. Esensialisme
5. Pragmatisme dan progresivisme
6. Eksitensialisme
Filsafat Idealisme menegaskan bahwa hakekat kenyataan adalah ide sebagai gagasan kejiwaan. Apa yang dianggap kebenaran realitas hanyalah bayangan atau refleksi dari ide sebagai kebenaran berfilsafat spiritual atau mental. Ide sebagai gagasan kejiwaan itulah sebagai kebenararan atau nilai sejati yang obsolut dan abadi. Terdapat variasi pendapat beserta namanya masing-masing dalam aliran ini seperti spiritualisme, rasionalisme, neokantianisme, dan sebagainya. Variasi itu antara lain menekankan pada akal dan rasio pada rasionalisme atau sebaliknya pada ilham untuk irasionalisme, dan lain-alain. Meskipun terjadi variasi pendapat tersebut, namun pada umunya aliran itu menekankan bahwa pendidikan merupakan kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten, anatara lain melalui instropeksi dan Tanya jawab. Oleh karena itu sebagai lembaga pendidikan, sekolah berfungsi membantu siswa mencari dan menemukan kebenaran, keindahan dan kehidupan yang luhur.
Filsafat pendidikan Esensialisme bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenarana seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld.
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus dinilai dari segi kegunaan pramatis, dengan kata lain paham ini menyatakan yang berpaedah itu harus benar, atau ukuran kebenaran didasarkan pada kemanfaatan dari sesuatu untuk kepada manusia .
Filsafat parenialisme dan esensialisme, yakni keduanya membela kurikulum tradisonal yang berpusat pada mata pelajaran yang pokok-pokok (subject centered). Perbedaanya ialah perenialisme menekankan keabadian teori kenikmatan yaitu :
• Pengetahuan yang benar (truth)
• Keindahan (beauty)
• Kecintaan kepada kebaikan (goodness)
Oleh karena itu, dinamakan perenialisme karena kurikulumnya berisi materi yang konstan atau perenial. Prinsip pendidikan antara lain:
1. Konsep pendidikan itu bersifat abadai,karena hakekat manusia tak pernah berubah
2. Inti pendidikan haruslah mengembangkan kekhususkan makluk manusia yang uni, yaitu kemampuan berpikir.
3. Tujuan belajar adalah mengenal kebenaran abadi dan universal
4. Pendidikan merupakan persiapan bagi kehidupan sebenarnya.
5. Kebenaran abadi itu diajarkan melalui pelajaran-pelajaran dasar (basic subject).
Filasafat Rekonstruksionisme adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini disekolah. Tetapi haruslah memelopori masyarakat kearah masyarakat baru yang diinginkan. Dengan demikian tidak setiap individu dan kelompok akan memecahkan kemasyarakatan secara sendiri-sendiri sebagai progresivisme.
Oleh karena itu, sekolah perlu mengembangakan suatu ideologi kemasyarakatan yang demokratis. Keunikan konstruksionisme ini ialah teorinya. Mengenai peranan guru, yakni sebagai pemimpin dalam metode proyek yang memberi peranan kapada murid cukup besar dalam proses pendidikan. Namun sebagai pemimpin penelitian, guru dituntut supaya menguasai sejumlah pengetahuan dan ilmu esensial supaya muridnya dapat berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan
E. Kesimpulan
1. Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja profesional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas profesional, pemanusiaan) yang dengan sendirinya melihatnya dalam perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus.
Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didik melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.
2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal tersebut dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara parsial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.


Daftar Pustaka
Ali Saifullah.HA. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Hasan Langgulung, 1986. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna
http://fadlibae.wordpress.com/2010/03/24/landasan-filsafat-dalam-pendidikan/
http://www.anneahira.com/artikel-pendidikan/teori-pendidikan.htm

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, Barat, Indonesia
Ya, Allah matikan aku dalam Islam, Jadikan aku menurut kehendakmu, dalam Ibadah kehidupanku baik dunia maupun akhirat, masukkan aku dalam sorga Mu, ya Allah

DATA PRIBADI KU

Data ini hanya boleh diakses siswa-siswi SMK Negeri 17 aja